Jumat, 07 Februari 2014

Jika Anak Anda Pelaku Cyberbullying, Lakukan Hal Berikut

Ilustrasi/Reuters
Mempunyai anak korban cyberbullying tentu tidaklah ringan.

Namun, perkaranya juga sama memusingkan jika anak Anda justru menjadi biang keonaran dan pelaku pem-bully-an terhadap teman-temannya di sekolah, di rumah, atau di lingkungan tempat aktivitas anak lainnya.

Laman kidshealth.org menyarankan sejumlah cara berikut untuk mengatasi kebiasaan buruk anak Anda:
  • Bertindaklah setahap demi setahap untuk mengurangi kebiasaan buruk anak Anda
  • Jelaskan kepada anak bahwa candaan atau guyonan memang tidak berbahaya, tapi bisa menyebabkan orang lain terluka dan bisa menyebabkan hal yang serius di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat.
  • Jika setelah diingatkan, anak tetap menjalankan kebiasaan sebagai pem-bully, gunakan perangkat lunak penjejak atau penyaring pesan di computer
  • Bila perlu, tegakkan larangan penggunaan komputer dan ponsel
  • Jika kebiasaan buruk masih berlanjut, bawa anak Anda mengikuti konseling.
Sementara menurut situs www.stopbullying.gov, hal-hal yang tergolong cyberbullying adalah pesan singkat atau sms di ponsel, email, gosip yang disebarkan melalui email atau diunggah di situs jejaring sosial.

Cyberbullying juga bisa berupa gambar, video, website, juga profil palsu yang mengolok-olok korban.

Orang tua dan anak bisa bersama-sama mencegah terjadinya cyberbullying dengan bersama-sama menggali cara sehat memanfaatkan teknologi.

Penting untuk diketahui bahwa:
  • Cyberbullying bisa terjadi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan bisa menjangkau anak yang sedang sendirian sekali pun. Serangan itu bisa datang siang maupun malam.
  • Pesan-pesan dan gambar bernada cyberbullying bisa dikirim secara anonim dan menyebar dengan sangat cepat ke publik yang sangat luas. Tak mudah untuk menelusuri sumber cyberbullying tersebut.
  • Juga bukan perkara mudah untuk menghapus pesan tak layak dalam bentuk teks atau gambar yang sudah disebarkan orang ke khalayak yang luas.(dipublikasikan di Kabar24.com, Sabtu, 04/01/2014 11:10 WIB )

Ini Sebab Korban Cyberbullying Tak Lapor ke Orang Tua

ilustrasi/Reuters-yuriko nakao
Keinginan untuk tetap mempunyai teman atau berteman dengan seseorang, membuat anak rela menjadi korban bullying dalam waktu lama.

Karena takut tak lagi punya teman, anak-anak memilih “rela” menjadi sasaran penistaan alias di-bully oleh temannya sendiri.

Anak korban bullying seakan mengabaikan siksaan psikis yang mereka alami demi menjaga pertemanan, tetap bisa menjalin komunikasi secara online dan tetap bisa memiliki hak menggunakan saluran komunikasi ini.

Semua itu membuat korban bullying seakan membisu dan tak mau membagi tekanan yang dialaminya kepada orang lain termasuk dan terutama kepada orang tuanya.

Karena itu, penting bagi para orang tua untuk memberi jaminan kepada anaknya yang menjadi korban bullying untuk bisa tetap mengakses internet.

Meski begitu, orang tua perlu secara hati-hati memonitor isi komunikasi siber dan digital anak-anaknya.
Bila memungkinkan, blok saja akun si pem-bully dari grup dan daftar teman anak, begitu juga saluran masuknya di ponsel maupun pada e-mail.

Ajari anak untuk tidak merespons si penyerang, karena sekali hal itu dilanggar hanya akan membuat “api penistaan” membara besar dan membuat situasi menjadi lebih buruk.

Walau begitu, simpanlah pesan-pesan bernada ancaman, gambar, juga teks, dari si pem-bully.
Hal itu akan diperlukan sebagai alat bukti ketika aksi pem-bully-an tersebut dilaporkan kepada orang tua penyerang, pihak sekolah, bahkan ketika melapor kepada polisi.

Jangan lupa, libatkan guru atau kepala sekolah anak, terutama jika si pem-bully berada di sekolah yang sama. (dipublikasikan di Kabar24.com, Sabtu, 04/01/2014 10:41 WIB )

8 Tanda Anak Menjadi Korban Cyberbullying

Ilustrasi/Reuters
Orang tua mana yang tak bingung menghadapi anaknya menjadi korban pem-bully-an di lingkungannya.

Bukan perkara mudah menghadapi kondisi di mana anak menjadi korban pem-bully-an atau penistaan di lingkungannya, seperti di sekolah.

Apalagi jika hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi melalui media siber macam internet dan sejenisnya.

Berikut sejumlah tanda anak Anda menjadi korban cyberbullying dikutip dari kidshealth.org:
  1. Mengalami gangguan emosional selama dan setelah menggunakan internet
  2. Menarik diri dari teman-teman dan keluarga
  3. Menghindari kegiatan bersama dengan teman sekolah
  4. Banyak tidur dan mudah meluapkan kemarahan saat berada di rumah
  5. Mengalami perubahan mood, begitu juga dengan pola perilaku, pola tidur, dan pola makan
  6. Cenderung menghindari penggunaan computer dan ponsel
  7. Nampak gelisah dan resah saat menerima pesan instan atau e-mail
  8. Menghindari pembicaraan tentang computer atau ponsel
Jika tanda-tanda di atas nampak pada anak Anda atau anak lain di sekitar Anda, bisa jadi ia adalah korban cyberbullying yang memerlukan perlindungan dan bantuan dari orang-orang yang dipercayainya. (dipublikasikan di Kabar24.com, Sabtu, 04/01/2014 10:12 WIB )

Cyberbullying Bisa Dorong Anak Bunuh Diri. Waspadalah!

ilustrasi/reuters-herb swanson
Penistaan atau pem-bully-an bisa menimpa siapa saja, termasuk anak Anda sekali pun.
Kini tindakan mem-bully tidak hanya terjadi secara langsung melainkan juga bisa virtual melalui berbagai saluran media siber.

Jika penistaan secara langsung saja tak mudah dihadapi, bisa dibayangkan betapa “ribetnya” mengatasi tekanan yang dialami anak karena menjadi korban pem-bully-an secara siber
.
Cyberbullying menjadi hal yang tak terhindarkan seiring berkembangnya teknologi yang secara negative juga member peluang seorang anak menyerang anak lainnya.

Jangkauan jejaring sosial juga jaringan komunikasi sejenis membuat ruang dan kekuatan penistaan terhadap anak oleh anak lainnya bisa sangat jauh dan dalam.

Ancaman tak hanya datang dari anak tetangga atau teman sekelas anak melainkan juga dari jaringan pertemanan virtual mereka.

Parahnya lagi, cyberbullying alias penistaan secara siber ini bisa berlangsung secara terus menerus.
Pesan pendek di ponsel, email, situs media sosial bisa membuat seorang anak di-bully sepanjang hari, 24 jam sehari.

Korban akhirnya akan merasa terus dikejar-kejar dan tak punya tempat berlari sama sekali.

Masalahnya, anak enggan melaporkan kepada orang tua atau guru jika dirinya menjadi korban penistaan. Itu sebabnya, sulit untuk menerka seberapa banyak anak yang telah menjadi korban penistaan oleh sesamanya itu.

Diperkirakan sepertiga dari anak remaja telah menjadi korban penistaan secara on-line.

Penistaan digital ini memberi efek psikologis yang tak bisa dianggap ringan.

Korban akan merasa tertekan, cemas, menderita depresi dan berbagai bentuk gangguan lain akibat stress.

Bahkan, pada sejumlah kasus korban memilih untuk melakukan bunuh diri.

Kalangan pakar menggarisbawari bahwa korban maupun pelaku penistaan sesungguhnya berada pada kondisi berisiko untuk berpikir, berusaha, bahkan melakukan tindakan bunuh diri.

Demikian informasi dari situs http://kidshealth.org.

Jadi, para orang tua dan guru, waspadai dan cermatilah kemungkinan ada anak yang menjadi korban penistaan dari teman sebayanya. (Dipublikasikan di Kabar24.com, Sabtu, 04/01/2014 09:50 WIB)

Senin, 03 Februari 2014

Mencari Nama Jokowi di Lauhul Mahfudz

Popularitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi terus berada di posisi puncak.

Bahkan sebuah riset atas pemberitaan media, yang dilakukan lembaga survey Indonesia Indicator menyebutkan bahwa kepopuleran Jokowi mampu “membuat” media online “menyisihkan” berita tentang Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat.

Padahal, sejumlah nama yang terlibat dalam konvensi partainya Presiden SBY itu bukan nama ringan.

Di sana ada Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, tokoh muda Anies Baswedan dan sejumlah nama lainnya.
Khusus Gita Wirjawan dan Dahlan Iskan, semua sudah tahu bahwa dua nama ini juga termasuk idola media massa.

Tapi, nyatanya, kedua figur ini tak lantas menaikkan minat media massa, terutama online, untuk sering memberitakan soal Konvensi Demokrat sesering mereka memberitakan Jokowi, bahkan saat Gubernur DKI ini jongkok sekali pun.

Di saat maju sebagai calon gubernur, Jokowi adalah sosok yang menjadi bulan-bulanan banyak pihak.

Para lawannya menjadikan masalah “kesetiaan menjalankan jabatan” Wali Kota Solo sebagai titik serang.

Bertanding melawan Foke, alias Fauzie Bowo, Jokowi seakan semut melawan gajah. Tapi, semua itu tidak menjadi penghalang Jokowi untuk terpilih bersama Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sebagai Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta.

Dari berbagai pro-kontra pencalonan Jokowi sebagai cagub DKI saat itu, media sosial menjadi ajang perang opini yang riuh rendah.

Banyak pihak menyerang dan banyak pula yang membela Jokowi-Ahok. Tapi, dari sekian banyak serangan dan pembelaan kepada Jokowi, ada satu pesan singkat di Twitter yang menggetarkan saya.

“Nama Jokowi sudah tercatat di Lauhul Mahfudz.”

Begitu kurang lebih pernyataan di Twitter yang saying tidak sempat saya rekam meski kalimatnya ya kurang lebih saya ingat seperti kutipan di atas.

Lauhul Mahfudz, meminjam ujaran para alim di kalangan Islam, adalah buku besar yang mencatat semua skenario Allah, Tuhan Sang Maha Skenario.

Jadi, kalau memang nama Jokowi sudah digariskan dalam buku besar Ilahiah itu, apa pun orang mau berbuat tak akan pernah bisa menghapusnya.

Kini menjelang 2014, nama Jokowi kembali berkibar dan masih berada di posisi puncak bahkan mengalahkan Megawati dan Prabowo Subiakto –duet pentin g di belakang keberhasilan Jokowi-Ahok memimpin Jakarta.

Banyak pihak yang berharap agar Jokowi “kembali meninggalkan jabatannya”, kali ini dari kursi Gubernur, untuk memimpin Indonesia di kursi kepresidenan.

Para pecinta dan pengharapnya menginginkan Jokowi tampil tak hanya memimpin Jakarta.
Kini, Jokowi yang kembali di serang kiri-kanan seakan diperam zaman, dan tinggal menunggu dua kemungkinan.

Jokowi matang menjadi figur yang cocok memimpin Indonesia ke masa depan, atau sebaliknya cukup hanya sampai kursi DKI-1 saja.

Di saat PDI Perjuangan pun belum sungguh-sungguh memperlihatkan niat untuk mencapreskan Jokowi dan sang Jokowi pun kerap menghindari percakapan soal pencapresan, ada baiknya para pendukung juga penyerang menghitung baik-buruknya jejak kepemimpinan Jokowi.

Lantas, apakah nama Jokowi juga tercatat dalam lauhul mahfudz sebagai Presiden RI?

Kalau ada yang bertanya seperti itu kepada saya, maka saya akan katakana “ketika kalimat itu muncul di Twitter saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, hati saya langsung bergetar.”

Bagaimana untuk posisi capres?

Silakan semua mencarinya di mesin pencarian Ilahiah bernama Lauhul Mahfudz yang bisa diakses semua orang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Masukkan nama Jokowi di “bilah pencarian” lauhul mahfudz itu lalu "tekan enter".

Perkara terbaca atau tidak, tentu saja kembali ke kapasitas Anda masing-masing.  

Dipublikasikan di www.kabar24.com, Jum'at, 22/11/2013 11:50 WIB

4 Isu Sehari-Hari Yang Bisa Membuat Anak Cemas

saed bannoura-file-Reuters
Sejumlah kejadian sehari-hari dipercaya menjadi hal yang menakutkan bagi anak-anak.

Pakar ilmu kesehatan anak meyakini bahwa saat berusia 4 hingga 6 tahun sejumlah kejadian nyata bisa mempengaruhi pikiran anak.

Meski orang dewasa menilai bahwa dunia anak nampak suci, dalam kenyataannya kini anak dikepung oleh berbagai isu besar yang memprovokasi dan membuat anak takut atau cemas dengan tingkat pengaruh beragam tergantung lingkungan di mana anak berada.

Setidaknya ada empat hal yang bisa membuat anak dicekam kecemasan.

Ingin tahu lebih jauh? silakan klik di sini.

TIPS PARENTING Menjelaskan Arti "Perceraian", "Janda", "Duda" dan "Kematian" Pada Anak



Ilustrasi/expresscouk

Pertanyaan anak, usia kelas 1 SD, yang baru belajar membaca sejumlah kata baru dan belum mengerti makna dan definisinya kadang membuat kita terhenyak.

Paling tidak itulah yang saya alami ketika bersama si bungsu sedang berjalan-jalan menyusuri sore yang lembab di atas sepeda motor.

“Janda itu apa sih Pa?” kembali ia mengulang pertanyaannya, karena pertanyaan pertama tak terlalu terdengar.

Sambil menjaga keseimbangan sepeda motor, saya pun diam sejenak. Mencari kata-kata yang paling mudah untuk dimengerti si bungsu.

“Janda itu, istri yang berpisah dengan suaminya, bisa karena suaminya meninggal atau karena bercerai…”

“Bercerai itu apa?” kejar si bungsu cepat.

“Bercerai itu, berpisahnya suami istri, bisa karena salah satunya meninggal, atau tidak lagi menikah,” ujar saya.

“Kalau suami yang istrinya berpisah disebut duda,” tambah saya.

Jawaban itu saya sampaikan setelah si bungsu mencecar dengan pertanyaan soal kematian, mengapa orang bisa meninggal dan seterusnya.

Mengapa menikah, terus kenapa bercerai juga ditanyakannya.

Sejumlah hal tidak bisa saya sampaikan dengan mudah, dan saya memilih tak menjawab,  di saat sepeda motor yang kami kendarai melintas di jalan becek dan licin.

Poin penting dari tulisan saya di atas bukanlah soal kemampuaan saya mengendalikan keseimbangan sepeda motor dan “keberhasilan” saya menutup anak bertanya lebih jauh.

Namun, yang ingin saya sampaikan adalah perlunya bagi para orang tua, baik ayah dan ibu untuk bersiap menjawab pertanyaan anak yang muncul secara tiba-tiba.

Menjelaskan relasi keluarga memang relatif mudah, jika yang kita sampaikan adalah hal yang faktual alias ada faktanya. Dan, tentu saja, jika itu berupa fakta-fakta yang menggembirakan.

Halnya menjadi lain, jika yang ditanya adalah hal yang sulit untuk dibuat contohnya, terkesan buruk, atau tidak membahagiakan.

Untuk menjelaskan “pertanyaan-pertanyaan sulit” yang tiba-tiba dilontarkan anak, berikut beberapa tips yang bisa dijadikan pilihan:

Cari bahasa termudah
Ingat bahwa anak memiliki imajinasi tersendiri tentang sebuah kata. Jika kita “kurang tepat” memilihkan penjelasan sebuah makna baru, maka hal itu akan tertanam pada memori anak sebagai persepsi yang pertama. Jangan lupa, persepsi awal adalah sesuatu yang bisa melekat kuat pada anak.

Buat gambaran yang paling sederhana
Memberikan contoh visual sesederhana mungkin sangat disarankan untuk menjelaskan sesuatu kepada anak, termasuk hal-hal “rumit” seperti perceraian, kematian, dan hal-hal sejenisnya.

Pancing Ulang Persepsi Anak
Meminta anak untuk mengatakan apa yang dia pahami dari penjelasan kita bermanfaat untuk mengontrol sejauh mana pesan yang kita sampaikan dipahami oleh anak.
Ingat, keberhasilan komunikasi konon baru tercapai ketika gambaran yang kita sampaiakan bisa sama dengan gambaran yang diterima anak.

Ajarkan soal kosekuensi
Sebuah kata bisa menggambarkan sebuah definisi atau kejadian, Dalam kasus “janda”, “duda” atau “perceraian” dan “kematian”, kata-kata itu bisa berarti kejadian tunggal bisa juga sebuah konsekuensi.

Menjelaskan sebab sebuah kejadian dan konsekuensi yang harus dialami akan membuat anak lebih mengerti suatu peristiwa.

Lebih dari itu, pemahaman akan konsekuensi bisa menghindarkan anak dari ketakutan, sedih, atau trauma oleh sebuah kata.

Nah, Anda punya pengalaman soal menemani anak berbincang-bincang, silakan berbagi di kolom komentar.

(tulisan ini telah dipublikasikan di www. kabar24.com, 25 Januari 2014)

BACA JUGA:
FILM WEEKEND: American Hustle, Saat Penipuan Berubah Jadi Misi Mulia
Ini Buktinya Ketika Jatuh Cinta Air Putih Terasa Manis